A. Teori Belajar John Dewey
Konsep
Dasar Pemikiran Pendidikan Dewey
Menurut John Dewey dalam Trianto
(2007: 17-18), model reflektif di dalam memecahkan masalah yaitu proses
berpikir aktif, hati-hati, dilandasi proses berpikir ke arah
kesimpulan-kesimpulan yang definitif . Proses berpikir yang dilakukan oleh
peserta didik melalui lima langkah, yaitu: (1) mengenali masalah (2)
menyelidiki dan menganalisis kesulitannya dan menentukan masalah yang
dihadapinya (3) menghubungkan uraian-uraian hasil analisis satu sama lain dan
mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah yang dihadapi (4)
menimbang kemungkinan jawaban dengan akibatnya masing-masing (5) mempraktikkan
salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan
membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu. Jika pemecahan masalah itu
salah atau kurang tepat, maka peserta didik akan mencoba kemungkinan yang lain
sampai ditemukan pemecahan masalah yang tepat.
Pola pemikiran Dewey tentang
pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana
konsep-konsep dasar pengalaman (experiencee), pertumbuhan (growth), eksperimen
(experiment), dan transaksi (transaction) memiliki kedekatan yang akrab,
sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan.
Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa
filosofi, pendidikan kering akan arahan inteligensi. Dalam Democracy and
Education, Dewey (1961) mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun secara
intelegensia terhadap pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat
pada kebiasaan pengalaman. Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran di atas
dapat diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat
dalam transaksi yakni dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun
berbagai bentuk organisme lain.
Garis besar pemikiran pendidikan
yang selalu dikaitkan dengan Dewey dan telah banyak memberikan kontribusi
terhadap konsep-konsep pendidikan perlu digaris bawahi di sini. Menurut
Garforth (1966) terdapat tiga pengaruh pemikiran Dewey dalam pendidikan yang
dirasakan sangat kuat hingga saat ini. Pertama, Dewey melahirkan konsepsi
baru tentang kesosialan pendidikan, di sini dijelaskan bahwa pendidikan
memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan
selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang
umum. Kedua, Dewey memberikan bentuk dan substansi baru terhadap
konsep keberpusatan pada anak (child-centredness). Bahwa konsep pendidikan adalah
berpusat pada anak, telah sejak lama dilontarkan, bahkan oleh Aristoteles.
Dalam hal ini Dewey mendasarkan konsep keberpusatan pada anak pada
landasan-landasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para
pendahulunya. Ketiga, Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral
konsep Dewey tentang Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik
pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey
membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan
kerangka teoritik dan berbasis eksperimen.
B. Teori Belajar
Vygotsky
Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu
yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky
menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan
masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga
menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang
yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Vygotsky lebih banyak
menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan
perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental
yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan
perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi
seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang
lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup
dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada
anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama
pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara
berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang
dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota
lain dalam kebudayaannya.
Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian
mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang
alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal
kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui
pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam
suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi
matang.
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari
sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa
anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak
tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan
orang lain.
Vygotsky mencari pengertian bagaimana anak-anak
berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum
matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual
development dan potensial development pada anak. Actual development ditentukan
apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau
guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau
kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zone of proximal developmnet merupakan celah antara
actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak
dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak
dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman
sebaya.
Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat
memudahkan perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah
sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk
memaksimalkan perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih
terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang
lebih kompleks.
Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding merupakan
suatu istilah pada proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui
Zone of proximal developmentnya.
Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama
tahap - tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan
memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah
ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri
Penerapan Teori Belajar Vygotsky Dalam Interaksi
Belajar Mengajar
Penerapan teori belajar Vygotsky dalam interaksi belajar mengajar mungkin
dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Walaupun anak tetap
dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap
kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam
Zone of proximal developmnet dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama
melalui ZPD.
2. Secara khusus Vygotsky
mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada
perkembangan kognitif anak, kerja kelompok secara kooperatif tampaknya
mempercepat perkembangan anak.
3. Gagasan tentang
kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi pengajaran pribadi oleh teman
sebaya (peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak
tertinggal dalam pelajaran. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak
lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu
sehingga bisa dengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain
dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
C. Teori Belajar Ausubel
David Ausubel (1963) merupakan
seorang psikolog pendidikan, melakukan beberapa penelitian rintisan menarik di
waktu yang hampir sama dengan Burner, Ia sangat tertarik dengan cara mengorganisasikan
berbagai ide. Ia menjelaskan bahwa dalam diri seorang pelajar sudah ada
organisasi dan kejalasan tentang pengetahuan dibidang subjek tertentu. Ia
menyebut organisasi ini sebagai struktur kognitif dan percaya bahwa struktur
ini menentukan kemampuan pelajar untuk menangani berbagai ide dan hubungan
baru. Makna dapat muncul dari materi baru hanya bila materi itu terkait dengan
struktur kognitif dari pembelajaran sebelumnya.
David Ausubel terkenal dengan
teori belajar yang dibawanya yaitu teori belajar bermakna (meaningful
learning). Menurut Ausubel belajar bermakna terjadi jika suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang, selanjutnya bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk
mengasimilasikan pengertian baru pada konsep-konsep yang relevan yang sudah ada
dalam struktur kognitif, maka akan terjadi belajar hafalan. Ia juga menyebutkan
bahwa proses belajar tersebut terdiri dari dua proses yaitu proses
penerimaan dan proses penerimaan dan proses penemuan. (Ratna Wilis Dahar,
2006).
Faktor-faktor utama yang
mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang
ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan
pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke
dalam skema yang telah ia punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang
ia pelajari dan ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena,
dan fakta-fakta baru kedalam system pengertian yang telah dipunyainya.
Teori belajar bermakna Ausubel
ini sangat dekat dengan inti pokok konstruktivisme. Keduanya menekankan
pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru
kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya
asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai
sisw. Keduanya mengandalkan bahwa dalam pembelajaran itu aktif.
Terdapat empat prinsif dalam
menerapkan teori belajar bermakna Ausubel yaitu :
a. Pengaturan Awal, dalam hal ini
hal yang perlu dilakukan adalah mengarahkan dan membantu mengingat kembali.
b. Defrensiasi Progresif, dalam hal
ini yang perlu dilakukan adalah menyusun konsep dengan mengajarkan
konsep-konsep tersebut dari inklusif kemudian kurang ingklusif dan yang paling
ingklusif.
c. Belajar Subordinat, dalam hal ini
terjadi bila konsep-konsep tersebut telah dipelajari sebelumnya.
d. Penyesuaian Integratif, dalam hal
ini materi disusun sedemikian rupa hingga menggerakkan hirarki konseptual yaitu
ke atas dan ke bawah.
Terdapat 8 langkah pembelajaran
yang bisa dilakukan dalam menerapkan teori belajar bermakna Ausubel, yaitu :
1. Menentukan tujuan pembelajaran
2. Mengukur kesiapan siswa
3. Memilih materi pembelajaran dan
mengatur dalam penyajian konsep
4. Mengidentifikasi prinsif-prinsif
yang harus dikuasai peserta didik dari materi pembelajaran
5. Menyajikan suatu pandangan secara
menyeluruh tentang apa yang seharusnya dipelajari
6. Menggunakan “advance
organizer” dengan cara memberikan rangkuman dilanjutkan dengan keterkaitan
antara materi.
7. Mengajar siswa dengan pemahaman
konsep
8. Mengevaluasi hasil belajar
(Prasetyo Irawan, 1996)
D. Teori Belajar Gagne & Briggs
Perancangan instruksional adalah
seni dan merupakan pengetahuan terapan, menciptakan metode yang efisien untuk
mencapai tujuan pendidikan. Gagne & Briggs, merekomendasikan suatu
pendekatan sistem, yang mengandung level system, level courses, level lesson,
dan level final system.
Pertama: Level sistem meliputi
analisa kebutuhan, tujuan, dan prioritas, kemudian menganalisis sumber,
kendala, dan alternatif sistem pengiriman serta mengembangkan cakupan
kurikulum, urutan bahan dan urutan tujuan yang spesifik, mengurutkannya dalam
tugas-tugas yang masuk akal dan mengidentifikasi sistem pengiriman untuk
dimanfaatkan pada instruksional.
Kedua: Level courses menentukan
struktur bahan dan urutan isi dalam mengorganisasikan courses, sekitar tujuan
target dan tujuan antara serta perspektifnya. Untuk mencapai ini, perlu
membentuk analisis proses informasi (barangkali menggunakan flow chart),
klasifikasi tugas (dengan memperhatikan kondisi belajar yang dikaitkan dengan
setiap tugas), dan analisis tugas belajar (termasuk mengidentifikasi hirarki
belajar yang relevan untuk pembelajaran dalam keterampilan intelektual).
Dalam menganalisis tujuan
(pembelajaran) ada tiga hal yang perlu dianalisis, yaitu:
1)
Analisis
memproses informasi yang diharapkan dapat menyingkap operasi mental untuk
membentuk tujuan,
2)
Mengklasifikasikan
tugas untuk mengkategorisasikan hasil, dan mengidentifikasi kondisi belajar
yang akan ditetapkan, dan
3)
Menganalisis
tugas-tugas belajar untuk mengidentifikasi tujuan antara yang dibutuhkan
sebelum mengajarkan tujuan-tujuan target.
Ketiga: Level lesson yaitu
mengidentifikasi tujuan untuk setiap pelajaran (topik) dan merencanakan
event-event instruksional (termasuk media, bahan ajaran, dan evaluasi) yang
digunakan. Di sini perancang instruksional, melahirkan kreatifitas, pengetahuan
mata ajaran dan pengetahuan tentang siswa untuk menentukan informasi apa untuk
disampaikan, apa contoh atau demonstrasi, media atau bahan ajaran, praktek, dan
aktivitas pelaksanakan yang digunakan.
Pada level perencanaan pelajaran
(modul) setiap kegiatan perencanaan dan menentukan tujuan khusus memerlukan pengembangannya
sebagai berikut:
1)
Daftarkan
kegiatan-kegiatan pembelajaran untuk dilaksanakan.
2)
Tentukan
bahan ajar, media, atau agen yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan
kegiatan-kegiatan pembelajaran tersebut.
Merancang atau merencanakan
kegiatan pembelajaran, termasuk rencana bagaimana media dan bahan ajaran
digunakan; mengkaji serta memilih media dan bahan ajaran untuk merencanakan
aturan atau kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan guru untuk menyelesaikan
pelajaran tersebut.
Keempat : Level sistem yang
terakhir meliputi evaluasi, uji lapangan, dan difusi informasi mengenai sistem
belajar yang dikembangkan. Gagne dan Briggs membedakan tipe kemampuan belajar
manusia dalam 5 (lima) macam/tipe yaitu; ketrampilan intelektual, strategi
kognitif, informasi verbal, sikap, dan ketrampilan motorik. Dalam
pelaksanaannya di lapangan kelima tipe kemampuan tersebut hendaknya diajarkan
dengan melalui langkah-langkah yang dimulai dari meningkatkan perhatian siswa,
menginformasikan tujuan yang akan dicapai, menstimuli ingatan siswa terhadap pengetahuan
prasyarat, memberikan bahan yang merangsang stimuli, memberikan petunjuk
belajar, memperoleh perilaku, memberikan umpan balik, mengukur perilaku, dan
terakhir menambah pengulangan dan transfer.
Pendapat Gagne dan Briggs (1977)
mengenai pendekatan rancangan pembelajaran yang diketahui barangkali memang
betul, tapi itu hanya satu dari beberapa pendekatan (Andrews & Goodson,
1980, Braden & Sachs, 1983, Dick & Cerey, 1978, Gagne & Dick, 1983,
Reigeluth, 1983, dan berbagai issue dari jurnal pengembangan pembelajaran).
Banyak pendekatan lain yang sama dengan Gagne dan Briggs, bedanya hanya dalam
terminologi dan tingkat kerincian dari poin-poin khusus. Beberapa perbedaan
yang dapat diperhatikan, barangkali karena perbedaan pendekatan didaktik
pembelajaran yang ditekankan oleh Gagne dan Briggs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar